page contents
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
oleh Yadhi Rusmiadi Jashar

"Sumingkem dan Sumangap fardlu ke bazaar. Di to ko, wu li porcelain, setrijkezer, dan meza kula varga. Tad api wang habis, banca rotto." 

Harus diakui, tidak ada bahasa di negara manapun yang terbebas dari anasir-anasir di luar dirinya. Tidak terkecuali bahasa Inggris yang telah mendunia. Pun begitu dengan bahasa Indonesia.
Bahkan, seperti yang diintroduksi Remy Silado, "Sembilan dari sepuluh bahasa Indonesia berbau asing" (Remy Silado tidak menyebutkan lebih lanjut apakah bahasa daerah termasuk dalam bilangan "Sembilan" itu atau tidak). Ia menengarai, bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado. Ia pun meragukan bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia.

Kecurigaan Remy Silado itu mungkin ada benarnya. Kalau kita mencangkuli bumi bahasa Indonesia, kita akan menemukan akar yang menjalar dan menjulur ke Cina, Sanskerta, India, Belanda, Arabia, Perancis, Portugis, Inggris, Spanyol, dan lainnya. Artinya, bahasa Indonesia yang kita gunakan tidak berasal dari satu bahasa. Coba perhatikan kosakata berikut; beli~wu li, toko~to ko (Cina), pensil~pencil, porselin~porcelain (Inggris), baca~va ca, keluarga~kula varga, tetapi~tad api (sansekerta), koran~krant, buku~boek, seterika~setrijkezer (Belanda), meja~meza, peniti~alfinete (Portugis), sepeda~velocipede, unik~unique (Perancis), idola~eidolon (Yunani), perlu~fardlu (Arab), bangkrut~banca rotto (Italia). Belum lagi bahasa daerah semisal pantai, amboi, serentak, dan santai.

Insinuansi Remy Silado itu rasanya cukup beralasan bila kita cermati lagi bahasa Indonesia. Begitu banyak unsur luar merasuk dan mengalir di tubuh bahasa Indonesia. Derasnya arus kosakata atau istilah baru di bidang IT, telah pula meyibukkan para pakar bahasa, menyusun kamus istilah atau kamus sejenis lainnya. Itu adalah gambaran kini. Di sini. Tidak tahulah nanti.

Adakalanya anasir itu berdampak negatif bagi bahasa di suatu negara. Akan tetapi dalam perspektif perkembangan, kita harus menempatkan anasir tersebut sebagai hal yang positif yang menjadikan suatu bahasa lebih kaya dan maju dari semula.
Gelombang ketiga (the third wave) di bidang IT telah menjelajah seluruh pelosok dunia. Istilah seputar parabola, komputer, internet, dan telepon selular; install, mouse, upload, keyboard, download, print, dan lain-lain, telah merambah bumi bahasa Indonesia.
Lalu, akan semakin tersingkirkah bahasa Indonesia dari buminya tatkala istilah asing semakin bertambah banyak menghinggapi lahan-lahan kosong di bumi bahasa Indonesia?

Itu merupakan ilustrasi yang tidak perlu disikapi secara pragmentaris dan berlebihan. Kita sebagai pemilik sah bahasa Indonesia harus sadar bahwa bahasa Indonesia memang tidak mampu menjelaskan atau menyediakan padanan yang pas atas konsep-konsep IT. Itulah keterbatasan bahasa Indonesia. Tapi, sesungguhnya hal tersebut wajar karena sifat bahasa selalu berkembang dan terbuka. Toh, bahasa Indonesia juga menyediakan kata untuk diserap oleh bahasa lain, misalnya bambu (bamboo, Inggris), mangga (mango, Inggris), dan sebagainya.
Kita, pemilik sah bahasa Indonesia, harus bisa mencermati dan menyikapi secara bijak suatu fenomena yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Kita tidak menginginkan bahasa Indonesia teralienasi. Kita juga tidak menginginkan bahasa Indonesia "miskin" dan terkucil dari arus modernisasi informasi teknologi yang mengglobal. Tinggal lagi bagaimana kita bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan arus besar yang menjalarinya.